KATASATUKALTIM — Siapa yang tak mengenal Mulla Sadra? Dialah sosok Teosof yang amat brilian. Berikut ini katakaltim menyajikan biografi singkatnya yang penting bagi Anda untuk mengetahuinya.
Mulla Sadra adalah tokoh yang amat terkenl. Dia meninggalkan begitu banyak karya, dan tidak sedikit orang yang tertarik untuk mengkaji dan cenderung pada pemikirannya.
Namun, belum ada satu hasil penelitian pun saat ini yang mengatakan secara pasti kapan tanggal kelahiran Mulla Shadra yang menggagas filsafat Hikmah Muta’aliyyah ini. Diperkirakan ia hidup dari tahun 979H/1571 M sampai dengan 1050 H/1640.
Kholid Al-Walid, salah seorang penulis di Indonesia yang cukup konsen terhadap pemikiran Mulla Shadra menyebutkan, bahwa kelahiran Mulla Shadra tidak diketahui pasti, kecuali beberapa perkiraan yang dikemukakan oleh Henry Corbin.
Juga beliau menambahkan terdapat penjelasan dari Allamah Thabathabai dalam pengantar kitab Al-Masyair, bahwa berdasarkan perhitungan yang didapatkan dari berbagai kitab yang ditulis Mulla Sadra, memperkirakan ia lahir pada 979 H/1571M.
Mulla Sadra lahir di sebuah kota bernama Shiraz. Pada masa itu, Shiraz merupakan salah satu kota terpenting di tanah Persia.
Menjadi pusat pemerintahan, tempat berkembangnya pendidikan, dan tempat lahirnya ulama-ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam, fiqh, matematika, ast- ronomi, kedokteran, dan sebagainya.
Pada masa itu, Shiraz dipimpin oleh saudara dari Thamasp I, Raja Persia kedua dari Dinasti Safawi. Shiraz saat itu adalah sebuah kota yang masih merupakan wilayah Persepolis.
Sepanjang kekuasaan Safawi, Shiraz disebut-sebut sebagai pusat terpenting untuk perkembangan sains dan filsafat di dunia. Tak hanya itu, Shiraz juga dikenal sebagai pilar para sufi. Dan di kota yang menakjubkan inilah seorang Mulla Sadra dilahirkan.
Ayahnya bernama Khwaja Ibrahim bin Yahya Qawwami, seorang tokoh agama, ilmuwan, sekaligus menteri Shiraz pada saat itu. Dari sini, tampak bahwa pendiri filsafat transenden ini lahir bukan dari keluarga yang biasa-biasa saja.
Dikisahkan lebih lanjut tentang beliau, dalam Muhammad Ridha Muzaffar bagian “Muqaddimah” dalam Mulla Sadra, Al-Asfar yang kemudian dikutip oleh Kholid Al-Walid, Mulla Sadra merupakan anak yang dinazarkan oleh Khwaja Ibrahim.
Sebab pada saat itu Khawaja Ibrahim tidak memiliki anak laki-laki sehingga ia memohon untuk diberikan anak laki-laki, dan ia pun bernazar: jika ia mendapatkan anak laki-laki maka ia berjanji kepada Allah bahwa dia akan memberikan sumbangan yang besar bagi orang-orang fakir dan para ilmuwan.
Berkat nazar tersebut, Khawaja Ibrahim akhirnya benar-benar mendapatkan seorang anak laki-laki yang dia beri nama Muhammad Sadruddin bin Ibrahim Yahya Qawwami Syirazi, atau singkat dipanggil Shadra, dan baru kemudian, setelah menjadi ulama besar, Sadra dipanggil dengan sebutan Mulla Sadra.
Belakangan, setelah ia menjadi tokoh besar, ada yang menyebutnya dengan sebutan Sadr al-Mutaallihin karena kedalaman pengetahuannya di bidang Ketuhanan.
Terlahir sebagai anak tunggal dalam lingkup keluarga yang berkecukupan dan terhormat, dia memperoleh kesempatan pendidikan yang baik lagi sempurna. Sadra kecil pun akhirnya tumbuh sebagai anak yang cerdas dan saleh.
Beberapa sumber biografi tentang beliau mengatakan bahwa Sadra dengan cepat menguasai apa saja yang diajarkan padanya, seperti Bahasa Arab, al-Quran, logika, sampai dengan kaligrafi, gramatikal, dan juga syair-syair Persia.
Sumber lain juga menyebutkan dalam usianya yang sangat muda, sekitar dua puluh tahun, kecerdasan Sadra sudah melampaui guru-gurunya.
Bahkan menurut Sayyid Muhammad Khamenei tidak ada ilmuwan Shiraz di masa itu yang melebihi kemapuan Mulla Sadra.
Sebagaimana para penggila ilmu pada umumnya, Mulla Sadra tidak membatasi pencarian intelektualnya di kota kelahirannya, maka di usianya yang masih muda itu, ia ingin menambah pengetahuannya dengan belajar ke tempat lain, mencari guru-guru yang lebih berilmu.
Salah satu sumber menyebutkan bahwa, ketika Sadra berusia enam tahun, gubernur Persia, Muhammad Khuda Banda Syah diangkat menjadi raja dan pindah ke kota Qazwin yang menjadi ibu kota dinasti Safawi waktu itu.
Karena orang tua Mulla Sadra pada saat itu adalah seorang menteri, besar kemungkinan juga karena alasan itulah ia mengikuti perpindahan keluarganya dari Shiraz ke Qazwin.
Di kota itulah, Mulla Sadra muda, yang belum genap berusia dua puluh, tahun berjumpa dengan guru-guru besarnya pertama kali.
Di bawah bimbingan mereka, Mulla Sadra dengan cepat menguasai filsafat dan cabang-cabang ilmu lainnya.
Berkat kekayaan yang dimiliki ayahnya, Mulla Sadra memiliki perpustakaan besar yang menampung banyak buku dari berbagai cabang ilmu, baik dalam gnostik, filsafat, syair-syair, tafsir al-Quran, kitab-kitab hadis, dan sebagainya.
Kekayaan referensi yang ia miliki sangat mendukung bagi pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuannya. Namun, Qazwin tidak bisa menjadi tempat ia belajar selamanya, sebab pada tahun 1006 H, Persia berganti penguasa lagi.
Ketika itu daratan Persia dikuasai oleh Raja Abbas I, dan imbasnya adalah ibu kota juga mengalami pergantian, dari Kota Qazwin menjadi ke Isfahan.
Akibat dari pemindahan pusat pemerintahan ini, para ulama dan seniman juga banyak yang ikut pindah dan termasuk di antaranya guru-guru Mulla Sadra, seperti Syaikh Bahai yang mana pada saat itu memang menjabat sebagai Menteri Hak-Hak Asasi, sedangkan Mir Damad kala itu menjabat sebagai Imam resmi sholat Jumat ibu kota.
Tak hanya para ulama dan pejabat ibu kota, sekolah pendidikan formal yang ada di Qazwin pun akhirnya ikut dipindahkan ke Isfahan, dan Sadra termasuk salah satu ulama yang ikut dilibatkan dalam upaya pemindahan bangunan ini. Sehingga secara otomatis, Sadra juga ikut serta dalam perpindahan ke Isfahan.
Selang beberapa waktu, Sadra muda kemudian berhasil menamatkan pendidikannya.
Tak tanggung-tanggung, dia berhasil tamat dalam bidang Filsafat Peripatetik, Filsafat Iluminasi, Gnostik, Logika, Ilmu Kalam, Fiqh, Tafsir, Hadis, Astronomi, Matema- tika dan Kedokteran.
Sebagaimana seorang yang memang gemar belajar, saat di Isfahan Mulla Sadra belajar dengan sangat antusias kepada guru-gurunya.
Tak hanya itu, ketika di Isfahan ia berteman akrab dengan beberapa pelajar yang juga menempuh ilmu di kota tersebut.
Beberap di antarnya ialah Sayyid Ahmad Alawi, Aqa Husayn Khawansari, dan Mulla Muhammad Baqir Sabzawari, yang di masa depan akhirnya juga menjadi guru-guru terkenal.
Namun, tentu saja sang Teosof itu tetap menjadi yang paling menonjol di antara mereka, dan menjadi tokoh yang paling dipuja-puja seandainya dia memilih menetap di Isfahan.
Ternyata Isfahan juga bukan tempat yang ia inginkan menetap selamanya. Sadra masih mencari dimensi lain dalam pengembangan dirinya. Ia akhirnya pergi meninggalkan Isfahan untuk menjalankan kehidupan asketisme (khalwah) dan penyucian batin.
Inilah akhir dari periode pertama dari fase-fase kehidupan seorang Muhammad Sadruddin bin Ibrahim Yahya Qawwami Syirazi.
Dalam bagian biografi buku tentang Mulla Sadra yang ditulis oleh Sayyed Hossein Nasr, diceritakan selepas dari Isfahan, ia berjalan menuju Kahak, sebuah desa terpencil dekat kota Qum.
Lalu, di desa kecil inilah ia menyendiri, mungkin ini adalah upaya untuk memenuhi keinginan batinnya yang ingin menjauh dari hiruk-pikuk keramaian.
Dalam kesendirianlah, kebutuhan jiwanya terpenuhi, lalu mema suki secara langsung alam spiritual yang di dalamnya terdapat “kesunyian batin”, syarat semua kehidupan spiritual.
Sadra juga ingin lepas dari segala bentuk tekanan yang ia dapatkan di masa itu. Dirinya ketika itu dicap kafir oleh ulama-ulama eksoteris lantaran ia menulis doktrin-doktrin gnostik dan metafisika dengan bentuk yang lebih sederhana dan lebih terbuka.
Melalui surat, Mulla Sadra berkeluh kesah kepada sang guru, Mir Damad, tentang bagaimana perlakuan orang-orang yang tidak memahaminya.
Nasr juga menuliskan, bahwa dalam pengantar al-Asfar, Mulla Sadra menyebutkan bagaimana dahulu ia bisa menguasai kearifan pemikir-pemikir terdahulu, serta ajaran-ajaran gnostis dan teosofis dari hukama sebelumnya.
Namun ia juga gagal dalam menyadarkan orang-orang sezamannya yang masih jumud terhadap pengetahuan hakiki.
Pada masa ini juga, Sadra berhasil menulis be- berapa buku, terutama magnum opus-nya, dan mendidik beberapa murid yang kemudian menjadi filsuf-filsuf penting, antara lain, Mulla Muhsin Faid Kasyani dan Mulla Abdul Razaq Lahiji.
Kehidupannya ketika di Kahak tidak diketahui secara detail. Jejak-jejaknya di desa tersebut sampai sekarang tidak bisa ditegaskan secara pasti.
Di Kahak terdapat sebuah mesjid pentagonal (bersegi lima) yang merupakan warisan budaya abad kesepuluh/tujuh belas.
Nasr menyatakan, keberadaan masjid tersebut di tengah-tengah desa terpencil terasa begitu ganjil.
Dalam bentuk kemungkinan, bisa saja pada saat itu Mua hidup di dekat mesjid tersebut, atau bisa jadi juga masjid itu dibangun untuk mengenangnya.
Di tempat itu, di atas salah satu bukit yang dari puncaknya, sebuah kota kecil bisa terlihat dengan indah, di sana juga terdapat imam zadah, makam seorang wali yang hidup semasa dengan Sadra, bisa jadi saja kalau wali tersebut adalah sosok guru yang mengajak Shadra untuk mendatangi desa itu dan menyepi di sana.
Kehidupan Mulla Sadra pastinya masih banyak yang belum sempat tergali, dan butuh penelitian lebih lanjut untuk mengetahuinya secara pasti.
Diperkirakan sekitar tahun 1024 H, ia kembali ke kota Shiraz. Sekembalinya ke sana, Mulla diminta oleh Syah Abbas II untuk mengajar.
Di kota kelahirannya itu, Sadra berkarir sebagai pendidik, dan juga menikah. Sadra mengajar di sebuah madrasah yang dibangun oleh Allahwirdi Khan.
Namun, Allahwirdi Khan wafat sebelum ia sempat menyelenggarakan pendidikan di sekolah yang dibangunnya tersebut, lalu sekolah tersebut diambil alih oleh putranya Qali Khan.
Qali Khan lah yang mengajak Sadra untuk kembali ke Shiraz dan meneruskan sekolah tersebut. Di titik inilah, Mulla Sadramenghasilkan banyak karya dan membimbing banyak pelajar; saat itu Shiraz kembali bangkit menjadi kota pendidikan.
Sekolah Khan menjadi sangat terkenal, bahkan menarik pelancong dari negara asing. Kembali ke Shiraz ternyata seperti bermakna untuk memulai kehidupan baru.
Di sekolah Khan, selain mengajar filsafat, Mulla Sadra juga mengajar tafsir dan hadis, dan menulis karya-karya besar lainnya, seperti tafsir al-Quran dilihat dari pemahaman filsafat, juga Syarh Usul al-Kafi.
Selain itu, banyak karya lain yang dia hasilkan pada fase ini sehingga pemikiranya mulai banyak dikenal luas serta banyak murid yang datang dari kota-kota yang jauh khusus untuk belajar pada Mulla Sadra.
Bahkan beberapa muridnya kemudian menjadi komentator-komentator ulung atas karya-karya Mulla Sadra dan memperkenalkan pemikiran filsafat Sadra kepada para pemikir Islam lainnya.
Sadra memang bukanlah manusia biasa, dalam kurun waktu yang berlangsung sekitar tiga puluh tahun itu, selain mengajar dan menulis, ia pergi menunaikan haji beberapa kali dengan berjalan kaki.
Seolah setiap jengkal perjalananannya ada penambahan pencerahan dan penyaksian spiritual, yang tumbuh dari latih an yang selama puluhan tahun ia jalani.
Suatu hari, sepulangnya Mulla Sadra dari Mekah, ia pun jatuh sakit dan akhirnya pada tahun 1050H/1640 M, tepatnya di kota Basrah dia benar-benar mengakhiri perjalanannya di dunia.
Namun, sampai saat ini makamnya belum diketahui. Sempat dulu, pernah ada seorang Sayyed mengatakan bahwa ia pernah bertemu dengan sebuah nisan bertuliskan Mulla Sadra di Basrah, namun setelah dicari-cari kembali, nisan tersebut telah menghilang. Ketika wafat, Mulla Sadra meninggalkan dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan.
Anaknya yang pertama bernama Ibrahim dan terkenal dengan sebutan Mulla Ibrahim, juga seorang filsuf, muhaddith, mutakallim, faqih, serta banyak menulis syair-syair. Salah satu karyanya yang terkenal adalah tafsir yang berjudul Al-Urwah Al-Wutso.
Mulla Ibrahim lahir pada tahun 1021 H dan meninggal dunia pada tahun 1070 H. Anak laki-laki keduanya bernama Nizamuddin Ahmad, terkenal dengan sebutan Mirza Nizam.
Lahir di Kasyan pada tahun 1031 H dan meninggal dunia pada tahun 1074 H di Kota Shiraz. Sama seperti saudara dan ayahnya, Mirza Nizam dikenal sebagai filsuf dan penyair, juga seorang ahli tata bahasa Arab.
Anak perempuan pertamanya bernama Ummu Kaltsum (1019 H-1097), kedua Zubaidah (1023 H-1097 H) dan terakhir Masumah (1033 H-1093 H).
Ummu Kaltsum merupakan istri dari Mawla Abdul Razaq Lahiji, Zubaidah merupakan istri dari Mulla Muhsin Faid Kasyani, sedangkan MaSumah istri dari Qawamuddin Syirazi. Sepanjang hidupnya, Sadra banyak menghabiskan waktunya di Shiraz, Qazwin, dan Isfahan.
Namun, selain dari ketiga tempat tersebut, ada pula beberapa catatan yang menunjukkan bahwa Mulla Sadra pernah ke beberapa kota suci di Irak yang kemungkinan ia lakukan ketika ia masih dalam proses belajar.
Bahkan ada pula yang menyebutkan, selain ke Mekkah yang pernah ia tempuh dengan berjalan kaki, Mulla Sadra juga pernah mendatangi Mashhad.
Referensi:
Kholid Al-Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat, (Jakarta: Sadra Press, 2012)
Mustamin al Mandari, Menuju Kesempurnaan: Pengantar Pemi kiran Mulla Sadra, (Sulawesi Barat:Rumah Ilmu, 2018)
Seyyed Hossein Nasr, Al-Hikmah Al-Mutaaliyyah Mulla Sadra: Sebuah Terobosan dalam Filsafat Islam
Sayyed Hossein Nasr, Mulla Sadra in History of Muslim Philosophy V 2. (*)